Menurunnya Antusiasme Anak Muda terhadap Pemilu
Pemilu
2014 sesaat lagi akan bergulir. Para kaum elite politik seperti calon
legislatif dan calon presiden sedang berlomba-lomba berkampanye untuk
meraih suara, agar nantinya dapat terpilih oleh rakyat. Seharusnya
momen-momen seperti ini dapat lebih diperhatikan oleh anak muda.
Sayangnya, hingga saat ini, anak muda kurang berperan aktif terhadap
pentingnya kesadaran pemilu kali ini. Kaum muda seharusnya dapat turut
memantau berjalannya pemilu 2014 nantinya.
Padahal
menurut sejarah, anak muda selalu memberi peranan penting dalam
menentukan nasib bangsa Indonesia. Dimulai terbentuknya organisasi Budi
Utomo oleh mahasiswa STOVIA, Sumpah Pemuda, penculikan Soekarno-Hatta ke
Rengasdengklok untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia oleh
anak muda seperti; Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, Angkatan ’66 dengan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) menentang PKI, Angkatan ’74 yang mengkritisi kebijakan Orde Baru melalui persistiwa MALARI (Malapetaka Limabelas Januari), dan yang terakhir Reformasi ’98
yang menurunkan rezim Soeharto hingga berujung pada berakhirnya era
Orde Baru. Semua itu dilakukan oleh anak muda, yang sebagian besar
adalah kaum intelek muda (Mahasiswa).
Namun
seiring berjalannya waktu, dengan terus digadang-gadangkannya semangat
reformasi sejak 14 tahun yang lalu, anak muda menjadi semakin tidak
peduli dengan reformasi, bahkan banyak diantara mereka yang tidak
mengerti arti dari kata “reformasi”.
Mereka teralu sibuk untuk bermain-main di media sosial, seperti belanja
online atau hanya sekedar bercanda dengan teman-temannya.
Pada
pemilu 1999, anak muda atau mahasiswa masih berperan aktif dalam
memantau pemilu dengan baik. Merrka memantau melalui pers mahasiswa yang
terus menyuarakan mengenai pemilu 1999 dan forum rektor. Mereka sangat
antusias untuk larut dalam euforia pemilu 1999, mungkin karena hal ini
masih sangat baru untuk peristiwa di era reformasi. Mereka-mereka
(aktivis ’99) ini adalah orang-orang
yang mampu menggulingkan rezim orde baru. Pada masa ini juga mendorong
terbentuknya UNFREL (University Network for Free and Fair Election) atau
dikenal sebagai jaringan Perguruan Tinggi Pemantau Pemilu merupakan
wujud kerjasama dari 14 Universitas di seluruh Indonesia yang terlibat
aktif dalam pemilihan umum Juni
1999. Gerakan ini bertujuan untuk memperjuangkan keinginan rakyat agar
pemilu 1999 berlangsung secara bebas, jujur, dan adil untuk menciptakan
pemerintahan yang demokrasi pasca reformasi. Ruang lingkup UNFREL ini
dimulai semenjak masa-masa pra-pemilu, yakni proses penetapan UU pemilu,
UU parpol, dan UU susunan dan kedudukan sampai dengan proses registrasi
pemilih. Tidak seperti sekarang, banyak Universitas di Indonesia
cenderung menutup diri dalam memantau kinerja pemerintah, mereka hanya
fokus dalam akademik saja tanpa memperhatikan pemerintahan, bahkan
banyak dari mereka melarang mahasiswanya untuk berdemo, seperti yan BEM
(Badan Eksekutif Mahasiswa) jalankan saat ini.
Sepanjang
reformasi 1998 hingga saat ini mulai munculnya pergerakan mahasiswa
yang cukup eksis, yakni KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia). Mereka selalu vokal dalam menyuarakan pendapatnya sejak
reformasi. Bahkan sebagian besar anggota KAMMI adalah ketua BEM (Badan
Eksekutif Mahasiswa) di beberapa Universitas di Indonesia. Namun, banyak
kabar yang menyatakan bahwa organisasi KAMMI ini ada kaitannya dengan
PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Bukti ini bisa saja mengundang banyak
konspirasi mengenai keberadaan organisasi ini.
Peran
aktif mahasiswa pada pemilu terus mengalami penurunan dalam periode
selanjutnya. Hal ini didukung oleh kondisi setiap Universitas yang
kelihatannya adem ayem saja dengan adanya pemilu. Seperti pemilu 2004,
dan 2009 hanya segelintir orang saja yang antusias pada pemilu, berbeda
dengan 1999. Fakta ini didukung karena masyarakat Indonesia mulai
kesulitan dalam menjalankan pemilu 2004, karena ini merupakan pemilu
yang paling kompleks dihadapi Indonesia, dimana masyarakat harus memilih
banyak calon legislatif yang belum tentu dikenali oleh pemilihnya.
Melihat
potensi pemilih pemula pada pemilu 2014 cukup besar jumlahnya.
Diperkirakan ada 53 juta pemilih pemula pada pemilu 2014. Hal ini bisa
menjadi tolak ukur keberhasilan suatu partai pada pemilu kali ini. Namun
melihat antusias yang rendah, ditambah lagi keinginan mereka untuk
golput (tidak memilih) karena bingung memilih calon bisa saja terjadi.
Mereka anak muda, terutama mahasiswa lebih memiliki kecenderungan untuk
bermain di dunia politik praktis, tanpa memiliki kesadaran yang tinggi
pada pemilu kali ini. Fenomena adem ayemnya kampus ditengah euforia
pemilu masih saja terjadi. Kita mungkin akan rindu pada tokoh-tokoh
pemuda seperti Cosmas Batubara, Wanadi, Soe Hok Gie
yang mampu menggulingkan ideologi komunis, dan menurunkan Soekarno dari
jabatan presidennya. Atau mungkin Arif Budiman, Adnan Buyung yang
selalu mengkritisi kebijakan Orde Baru. Dan yang terakhir para pahlawan
reformasi yang mampu menurunkan rezim Orde Baru.. Para kaum Intelektual
muda masa kini banyak yang sudah dibeli oleh beberapa partai politik.
Banyak diantara anak muda kali ini lebih memilih menjadi tim sukses
suatu calon legislatif atau presiden, dibandingkan aktif pada pers
mahasiswa yang terus menyuarakan kebenaran. Rasa-rasanya ideologi bangsa
kita telah habis dibeli oleh uang, mereka-mereka ini golongan muda yang
seharusnya lebih peduli pada kinerja pemilu. Tidak hanya semata-mata
memanfaatkan momen pemilu untuk mencari keuntungan pribadi semata tanpa
memperhatikan kepentingan masyarakat luas.
Komentar
Posting Komentar