[Kajian BEM SI] Reklamasi
Bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasi oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
-Pasal
33 Ayat 3 UUD NRI 1945
***
Sebagai warga negara Indonesia
kita pasti tahu, bahwa negara kita ini memiliki banyak julukan. Salah satunya
yaitu Negara Maritim.
Alasan Indonesia disebut Negara
Maritim karena mengacu pada kenyataan bahwa Indonesia mempunyai perairan yang
sangat luas 2/3 dari seluruh luas wilayah Indonesia, yaitu 5,8 juta km2.
Namun, di beberapa wilayah
perairan Indonesia akan dilakukan suatu kegiatan yang merubah wilayah perairan
menjadi daratan, karena dianggap wilayah tersebut masih kosong atau bahkan
relatif tidak berguna,
Kegiatan ini disebut dengan
reklamasi.
Reklamasi biasanya dilakukan di
kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai
yang lebar, ataupun di danau. Pada dasaranya reklamasi merupakan kegiatan
merubah wilayah perairan pantai menjadi daratan. Reklamasi dimaksudkan upaya
merubah permukaan tanah yang rendah (biasanya terpengaruh terhadap genangan
air) menjadi lebih tinggi (biasanya tidak terpengaruh genangan air). (Wisnu
Suharto dalam Maskur, 2008).
Tujuan reklamasi yaitu untuk
memperbaiki daerah atau areal yang tidak terpakai atau tidak berguna
menjadi daerah yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia antara
lain untuk lahan pertanian, perumahan, tempat rekreasi dan industri.
Salah satu contoh reklamasi
yang masih diperdebatkan yaitu mengenai reklamasi Teluk Benoa. Mari kita bahas.
***
Dasar
Munculnya Izin Reklamasi Teluk Benoa
Lahirnya
Perpres No. 51 tahun 2014 di bulan Mei 2014 dua tahun silam seolah menjadi dasar munculnya
izin proyek reklamasi Teluk Benoa. Bagaimana tidak, dalam Perpres ini wilayah Teluk Benoa yang dulunya merupakan zona L3
atau konservasi (Perpres No. 45 tahun 2011) ,kini masuk dalam zona P atau penyangga.
Dalam zona ini terdapat kegiatan kegiatan yang di perbolehkan seperti kegiatan
kelautan, perikanan, pariwisata, pengembangan ekonomi, pemukiman bahkan
penyelenggaraan reklamasi.
Pada Intinya
penerbitan Perpres No. 51 Tahun 2014 ini menghapuskan pasal-pasal yang menyatakan
Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi sebagaimana yang disebutkan di dalam
pasal 55 ayat 5 Perpres No. 45 Tahun 2011. Serta mengubah kawasan konservasi perairan
pesisir Teluk Benoa menjadi zona penyangga, yang secara tegas di muat dalam
pasal 63A ayat (2) Perpres No. 51 tahun 2014 yang berakibat pada dapat di reklamasiya
teluk benoa (pasal 101A Perpres No. 51 tahun 2014). Bahkan luas wilayah yang dapat di reklamasipun telah
di tentukan, yakni maksimal seluas 700 hektar.
Selain
klausul yang mengijinkan kegiatan revitalisasi termasuk penyelenggaraan
reklamasi, Perpres
No. 51 tahun 2014 juga mengurangi
luasan kawasan konservasi perairan dengan menambahkan frasa “sebagian” pada pasal 55 Perpres No. 51 tahun 2014. Lahirnya Perpres No. 51 tahun 2014 ini seolah menjadi
jalan bebas hambatan untuk di langsungkanya reklamasi di Teluk Benoa.
Namun dibalik kenyataan itu semua, ada kecurigaan yang hingga saat ini
masih menjadi tanda tanya atas perubahan perpres nomor 45 tahun 2011 menjadi
perpres 51 tahun 2014. Kecurigaan tersebut muncul akibat adanya fakta bahwa perubahan perpres tersebut seakan dibuat
untuk kepentingan investor dan bukan masyarakat umum. Hal ini merujuk perubahan
yang terjadi berselang singkat yaitu dua tahun yaitu 2011 hingga 2014.
Terjadinya perubahan perpres tersebut seakan telah direncanakan pemerintah agar
memuluskan rencana proyek reklamasi Teluk Benoa ini. Selain itu, perubahan
perpres ini tidak disertai landasan pasti dari pemerintah pusat seperti
penerbitan kajian yang mengharuskan adanya perubahan perpres tersebut
Mengapa Reklamasi
Teluk Benoa Ditolak?
1.
Teluk Benoa Merupakan Kawasan
Suci
Penolakan reklamasi pertama pada Teluk Benoa ini merujuk kepada hasil
Sabha Pandhita yang telah berlangsung awal April 2016
ini. Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat dalam Pesamuhan
pada tanggal 9 april 2016 di Denpasar, telah memutuskan bahwa Teluk Benoa
sebagai Kawasan Suci. Berdasarkan hasil kajian dari 9 Tim PHDI mengenai kawasan
suci teluk benoa yang sudah di serahkan kepada pesamuhan Sabha Pandita maka
telah di putuskan bahwa, :
1. Kawasan suci
pantai yang masih digunakan oleh umat hindu di sekitar Teluk Benoa untuk
melakukan kegiatan ritual keagamaan seperti pemelastian.
2. Kawasan suci
laut, zonainti/utama mandala adalah Pura Karang Tengah yang disebut pula dengan
Pura Karang Suwung atau Pura Dalem Segara, Sebagai tempat melakukan ritual
keagaman mulang pakelem.
3. Tempat
suci/pura terbesar di Pulau Pudut, di pesisir daratan Serangan, pesisir daratan
Benoa, Pesisir daratan Tuban, pesisir daratan Kelan, dan pesisir Tanjung.
Jadi, merujuk
kepada hasil sidang yang telah dilaksanakan oleh PHDI pusat, dapat diambil
kesimpulan bahwa Teluk Benoa merupakan kawasan suci umat hindhu yang wajib
dilestarikan dan terjauh dari campur tangan guna menjadikanya sebagai kawasan
yang dikomersialisasikan.
2. Penolakan Dari Masyarakat Bali
Hingga saat ini,
beberapa desa adat sedang gencar dalam mendeklarasikan penolakan reklamasi
Teluk Benoa. Penolakan masyarakat Bali ini sangat rasional karena banyak sekali
pertimbangan mengenai dampak kedepan setelah proyek reklamasi Teluk Benoa
tersebut berjalan. Masyarakat adalah pihak pertama yang akan terkena dampak
reklamasi Teluk Benoa, seperti padatnya penduduk di wilayah selatan Bali,
bertambah macetnya wilayah selatan Bali, kemungkinan pencemaran lingkungan
setelah munculnya banyak hotel dan tempat wisata di pulau reklamasi dan
sebagainya.
Merujuk kepada situasi yang berkembang pada saat ini,
sudah sewajarnya pemerintah memperhatikan situasi masyarakat dilapangan dan
melakukan pengkajian kembali terhadap dampak sosial yang akan terjadi di
masyarakat bila proyek reklamasi ini tetap dilanjutkan. Pemerintah harus
melihat situasi langsung dan lebih mendengan aspirasi masyarakat umum
dibandingkan aspirasi investor.
3.
Teluk Benoa Adalah Kawasan Konservasi, Bukan Reklamasi :
Dampaknya Terhadap Ekologi
Pada Pasal 55 ayat (5) Perpres
No. 45 Tahun 2011 sebelum diubah menjadi Perpres No. 51 Tahun 2014 disebutkan
bahwa salah satu kawasan konservasi
di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yakni kawasan konservasi perairan di
perairan kawasan Sanur, perairan kawasan Serangan, perairan kawasan Teluk Benoa yang sebagian di Kecamatan Denpasar
Selatan, Kota Denpasar dan sebagian di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten
Badung, perairan kawasan Nusa Dua Badung, dan perairan kawasan Kuta.
Selanjutnya pada Pasal 2 ayat (3) Perpres No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi
di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebutkan bahwa Reklamasi tidak dapat dilakukan pada kawasan konservasi dan alur laut.
Tentu sudah sangat jelas bahwa
Teluk Benoa yang merupakan kawasan konservasi tidak layak untuk direklamasi.
Namun perubahan Perpres No. 45 Tahun 2011 menjadi Perpres No. 51 Tahun 2014
mengubah Teluk Benoa untuk tidak lagi dinyatakan sebagai kawasan konservasi,
melainkan sebagai zona P. Sesuai dengan pasal 63A ayat (1) Perpres No. 51 Tahun
2014 menyebutkan bahwa Zona P sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 merupakan zona perairan pesisir dengan karakteristik
kawasan teluk yang berhadapan dengan Zona L3, Zona B1, Zona B2, dan Zona B3 di
Kawasan Teluk Benoa, yang menjaga fungsi Zona L3, Zona B1, Zona B2, dan Zona B3
sebagai kawasan Pemanfaatan umum
yang potensial untuk kegiatan kelautan, perikanan, kepelabuhanan, transportasi,
pariwisata, pengembangan ekonomi, permukiman, sosial budaya, dan agama. Pada pasal 63A ayat (2) Perpres No. 51 Tahun 2014 menyatakan Zona P sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan di
perairan pesisir Teluk Benoa yang
berada di sebagian Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan sebagian
Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung.
Berdasarkan kajian pakar Hidrologi dari Universitas
Udayana, I Nyoman Sunarta, reklamasi Teluk Benoa tentu akan menimbulkan bencana
ekologis. Alasannya jika reklamasi tetap dilaksanakan, maka akan terjadi
perubahan arus air laut di sekitar perairan tersebut. Dampak paling nyata yang
dapat dirasakan adalah semakin memperparah
terjadinya abrasi di sejumlah pantai di sekitar Teluk Benoa. Indonesia
Maritime Institute (IMI) menegaskan, reklamasi
di Teluk Benoa berpotensi merusak ekosistem terumbu karang yang selain sebagai
penopang kehidupan jutaan biota laut, juga menjadi andalan wisata bahari di
Pulau Bali, jika reklamasi dilakukan maka tentu sedimentasi yang ditimbulkan
akan mematikan terumbu karang dan biota lainnya.
Pengakuan yang menyatakan
kondisi Teluk Benoa oleh pemerintah pusat yang tidak lagi sesuai untuk kawasan
konservasi seharusnya diikuti penyelamatan atau rehabilitasi ekosistem tanpa
diikuti dengan pembangunan akomodasi pariwisata secara masif yang tentunya akan
menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang lebih besar. Yang terjadi saat ini
membuktikan bahwa pemerintah tidak lagi berkomitmen dalam menjaga kelestarian
lingkungan
4. Reklamasi Tidak Untuk
Mensejahterakan Rakyat
Pada dasarnya pariwisata dengan
segala aktivitasnya memang telah mampu memberikan pengaruh yang cukup
signifikan bagi perubahan masyarakat baik secara ekonomi, sosial maupun
budaya. Hal itu menuntut adanya perhatian yang lebih dari para pengambil
kebijakan sektor pariwisata untuk mempertimbangkan kembali pola pengembangan
kawasan wisata agar masyarakat sekitar lebih dapat merasakan manfaatnya.
Sekaligus menjadi catatan, bahwa faktor kemanusiaan dan entitas budaya lokal
tidak boleh diabaikan, artinya kehidupan masyarakat tidak boleh tercerabut dari
akar budayanya hanya karena adanya penekanan segi komersial dari tourism. Jangan sampai penekanan pada
aspek ekonomi mengabaikan dimensi lain seperti dimensi ketahanan sosial budaya,
karena perkembangan mutakhir dari dunia kepariwisataan adalah beralihnya minat
wisatawan dari massive tourism ke etnic tourism,
wisata-wisata unik yang sangat peduli pada karakter asli masyarakat setempat.
Dr. Indah Widiastuti, ST, MT selaku dosen Program
Studi Pembangunan ITB menyebutkan bahwa dalam etika pembangunan dan keadilan,
pembangunan tidak hanya cukup mengandalkan indikator PAD, terdapat indikator
lain seperti angka kematian dan harapan hidup. Jika hanya melihat dari
perhitungan normatif terkait dengan keuntungan di bidang ekonomi, tindakan
pemerintah untuk menyetujui reklamasi ini dirasa tidak tepat. Daerah Teluk
Benoa yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi dalam Perpres No. 45
tahun 2011 sebelum diubah menjadi Perpres No. 51 tahun 2014 menjadi salah satu
tempat mata pencaharian nelayan setempat. Daratan baru yang akan dibuat
tentunya akan mengorbankan kehidupan para nelayan tersebut, tidak ada lagi
daerah tangkapan ikan yang mudah dijangkau. Akibatnya jika terus dibiarkan,
perubahan struktur masyarakat dengan profesi nelayan pun terjadi, dimana dengan
tantangan yang begitu sulit untuk menangkap ikan, tidak menutup kemungkinan
bahwa tidak ada lagi warga sekitar yang ingin melaut. Pasar-pasar ikan
tradisional disekitar wilayah tersebut juga terancam punah. Tidak ada lagi ikan
segar yang dapat diperjualbelikan. Tingginya harga jual ikan oleh nelayan di
wilayah Benoa akibat peningkatan biaya untuk melaut mendorong terjadinya kebangkrutan
nelayan setempat.
Jika mereka yang terancam secara langsung akibat dampak dari
reklamasi ini memiliki modal (keahlian khusus ataupun biaya) untuk ikut ambil
bagian di bidang pariwisata, maka hal tersebut tentunya tidak akan menjadi
beban bagi pemerintah daerah. Umpan balik negatif dengan meningkatnya
pengangguran akibat nelayan berhenti melaut harus mendapat perhatian khusus
dalam pengambilan keputusan mengenai reklamasi ini. Termasuk keturunan dari
nelayan-nelayan tersebut yang belum tentu mampu mengenyam pendidikan seperti
yang diharapkan pemerintah daerah sehingga dapat diserap oleh industri
pariwisata sangat mungkin meningkatkan angka kemiskinan di daerah tersebut.
Ancaman peningkatan pengganguran ini sudah tentu memicu terjadinya angka kriminalitas
yang tinggi. Dalam era globalisasi ini,
daerah manapun di dunia ini tidak akan pernah luput dari pembangunan, baik itu
pembangunan infrastruktur negara maupun pembangunan di berbagai sektor
kehidupan, namun yang menjadi catatan penting dalam perencanaan dan realisasi
percepatan pembangunan ini hendaknya dilakukan dengan penyesuaian-penyesuaian
adat dan istiadat yang ada.
***
Kasus selain Teluk Benoa yaitu mengenai Reklamasi Teluk Jakarta. Proyek
reklamasi dan revitalisasi yang dikembangkan oleh Pemda DKI terhadap kawasan
itu bermaksud untuk membangun kawasan tersebut menjadi daerah kawasan aktifitas
bisnis dan perekonomian maupun pemukiman elit. Dengan prakarsa itu juga Pemda
DKI dan beberapa perusahaan mitra kerjanya (salah satunya Agung Podomoro Land)
ingin mengubah predikat Jakarta pada sebutan Waterfront City. Hal ini akan
secara menyeluruh mengubah daerah tersebut dari keadaannya yang kumuh dan
ditempati oleh masyarakat menengah kebawah kepada kawasan elit yang menurut
Pemda sebagai solusi untuk menekan laju petumbuhan penduduk sekitar 2,7% per
tahun dan untuk mengatasi kesulitan penyediaan ruang untuk mengatasi
perubahan-perubahan tersebut.
Namun
permasalahan yang timbul kemudian adalah kondisi topografi yang landai dari
muara ke teluk Jakarta dan panjangnya aliran sungai akan menjadikan aliran
lambat sehingga mudah terjadi banjir. Oleh karena itu, reklamasi teluk Jakarta
harus sangat memperhatikan persyaratan teknisnya.
Sama hal nya dengan reklamasi Teluk Benoa, walaupun sudah adanya
dokumen legal yang menaungi mega proyek reklamasi pantai utara Jakarta ini
tetap menuai kontroversi.
***
Melihat kasus-kasus
di atas, apapun kegiatan yang akan dilakukan baik itu untuk mengembangkan
perairan atau daratan memang semestinya dipikirkan dengan matang apa saja
manfaat serta resiko yang akan muncul.
Yuk jaga
kekayaan yang negara kita miliki, karena alam akan memperlakukan kita seperti
kita memperlakukan mereka 😀
***
Source by
BEM SI
Google
KOMINFO 2016
Komentar
Posting Komentar