artikel
Rendahnya Gaji Dosen Cermin Buruknya Kampus RI
Dalam QS World University Rankings 2013, peringkat kampus Indonesia turun drastis. Sebagian besar merosot hingga 100 peringkat. Padahal, kampus-kampus Asia mulai menunjukkan diri di kancah dunia.Universitas Indonesia (UI), misalnya. Tahun ini hanya menempati peringkat 309+, padahal tahun lalu UI bercokol di peringkat 273. Institut Teknologi Bandung (ITB) “hanya” turun sekira 10 peringkat, yakni dari 451-500 (2012) ke 461-470 (2013). Sementara, peringkat Universitas Gadjah Mada
(UGM)ngedrop 100 peringkat. Tahun ini, UGM hanya sanggup berada di ranking 501-550 dari peringkat tahun lalu 401-450.
Penurunan 100 peringkat juga dialami Universitas Airlangga (Unair), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dan Universitas Brawijaya (UB). Kelima kampus itu menempatkan diri di peringkat 701+, padahal tahun lalu mereka berada di ranking 601+.
Pengamat pendidikan, Said Hamid Hasan, menilai turunnya peringkat perguruan tinggi Indonesia di kancah dunia perlu dilihat secara saksama. Setidaknya jika mengacu pada kriteria yang dipakai QS dalam pemeringkatan, maka memang perlu ada beberapa hal yang dibenahi.
Misalnya dari kriteria dosen internasional. Bagi Indonesia, kata Said, ini menjadi masalah besar. “Kita tidak mampu menggaji dosen internasional karena gaji dosen Indonesia sendiri kecil. Kriteria ini sangat sulit dipenuhi,” kata Said, ketika berbincang dengan Okezone, Selasa (10/9/2013).
Kriteria lain adalah rasio dosen dan mahasiswa. Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, ini mengilustrasikan, saat ini perguruan tinggi Tanah Air berebut mencari mahasiswa sebanyak-banyaknya. Sementara, penambahan dosen di tiap perguruan tinggi tidak sebanding dengan penambahan jumlah mahasiswa.
“Akibatnya rasio dosen dengan mahasiswa jadi buruk. Akibatnya lagi, kualitas pendidikan kita juga menurun,” tuturnya.
Dari segi kriteria sitasi per fakultas, Indonesia juga tidak kuat. Pasalnya, kata Said, pengutipan dosen bergantung dari produktivitas dosen tersebut dalam menulis jurnal ilmiah. Untuk menulis, dosen harus melakukan riset. Sementara untuk melakukan riset, para dosen terganjal biaya. Tidak heran jika biaya riset di Indonesia memang masih sangat sedikit dibanding negara lain.
“Faktor lainnya, dosen kita juga masih berkutat pada upaya untuk hidup dan mencari kesejahteraan. Bagaimana dia mau membuat penelitian atau publikasi jika masih memikirkan masalah ini?” tanyanya secara retoris.
Kriteria reputasi dosen, menurut Said, juga sulit dipenuhi. Said memaparkan, reputasi dosen salah satunya dibangun dengan publikasi jurnal ilmiah dalam bahasa Inggris. Hal ini menjadi persoalan lagi, mengingat jika harus menerbitkan jurnal internasional, maka seorang peneliti harus membayar. Ujung-ujungnya kembali ke urusan uang.
Guru Besar Jurusan Pendidikan Sejarah itu mengimbuhkan, Indonesia juga menghadapi masalah dalam kriteria mahasiswa internasional. Jumlahnya memang lumayan banyak. Tetapi, mereka datang untuk mempelajari Indonesia. Artinya, bahasa pengantar yang digunakan pun bahasa Indonesia, bahkan bahasa daerah. Sementara jika mahasiswa internasional ini ingin mempelajari bidang lain yang lebih universal, mereka lebih memilih kampus yang dekat dengan rumahnya
“Kelemahan Indonesia pada kriteria-kriteria ini saling mengait. Ini memang persoalan yang sulit. Perlu ada penelitian mengapa peringkat kita bisa turun,” tuturnya.
by
Komentar
Posting Komentar