Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015
Jika tidak ada aral melintang, tepat pada tanggal 1 januari 2015
bangsa-bangsa dikawasan Asia Tenggara atau lebih dikenal dengan ASEAN akan
memasuki era baru dalam hubungan perekonomian khususnya perdagangan dalam bentuk
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Siap atau tidak siap semua negara dikawasan
ASEAN sudah harus meleburkan batas territorial negaranya dalam satu pasar bebas
yang diperkirakan akan menjadi tulang punggung perekonomian dikawasan Asia
setelah China. Semua industri tidak terkecuali industri keuangan dan perbankan
syariah akan berkompetisi dalam pasar besar MEA. Bagi industri keuangan dan
perbankan syariah nasional, mulai dari regulator, praktisi, kalangan industri
dan para akademisi harus bersinergi untuk menjadikan tantangan besar ini
menjadi peluang bagi kemajuan perekonomian nasional.
Sebagian pihak menkhawatirkan hadirnya kesepakatan MEA 2015 sebagai sebuah ancaman karena pasar potensial domestik akan diambil oleh pesaing dari negara lain. Kekhawatiran ini tentu beralasan mengingat rendahnya kesiapan infrastruktur industri nasional masih sangat lemah, bahkan peringkat daya saing (competitiveness) global Indonesia masih rendah di posisi 38. Sementara itu, Singapura (2), Malaysia (24) Brunei (26) dan Thailand (37) (World Economic Forum 2013). Sedangkan negara Asean lainnya masih di bawah Indonesia.
Bank syariah terbesar di Indonesia saat ini baru mampu membukukan aset sekitar US$5,4 miliar sehingga belum ada yang masuk ke dalam jajaran 25 bank syariah dengan aset terbesar di dunia. Sementara tiga bank syariah Malaysia mampu masuk ke dalam daftar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa skala ekonomi bank syariah Indonesia masih kalah dengan bank syariah Malaysia yang akan menjadi kompetitor utama. Belum tercapainya skala ekonomi tersebut membuat operasional bank syariah di Indonesia kalah efisien, terlebih sebagian besar bank syariah di Indonesia masih dalam tahap ekspansi yang membutuhkan biaya investasi infrastruktur yang cukup signifikan. Ditambah lagi sampai saat ini pemerintah belum memiliki Bank Syariah milik pemerintah (BUMN).
Masih rendahnya peringkat daya saing nasional dan terbatasnya skala ekonomi Bank Syariah tersebut, tentu tidak menghalangi potensi perekonomian nasional yang kita miliki. Diantaranya: (i) jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii) peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah.
Pengembangan keuangan syariah di Indonesia yang lebih bersifat market driven dan dorongan bottom up dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga lebih bertumpu pada sektor riil juga menjadi keunggulan tersendiri. Berbeda dengan perkembangan keuangan syariah di Iran, Malaysia, dan Arab Saudi, dimana perkembangan keuangan syariahnya lebih bertumpu pada sektor keuangan, bukan sektor riil, dan peranan pemerintah sangat dominan. Selain dalam bentuk dukungan regulasi, penempatan dana pemerintah dan perusahaan milik negara pada lembaga keuangan syariah membuat total asetnya meningkat signifikan, terlebih ketika negara-negara tersebut menikmati windfall profit dari kenaikan harga minyak dan komoditas.
Keunggulan struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia lainnya adalah regulatory regime yang dinilai lebih baik dibanding dengan negara lain. Di Indonesia kewenangan mengeluarkan fatwa keuangan syariah bersifat terpusat oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan institusi yang independen. Sementara di negara lain, fatwa dapat dikeluarkan oleh perorangan ulama sehingga peluang terjadinya perbedaan sangat besar. Di Malaysia, struktur organisasi lembaga fatwa ini berada di bawah Bank Negara Malaysia (BNM), tidak berdiri sendiri secara independen.
Semua stakeholder industri keuangan dan perbankan syariah nasional harus bersama-sama bersinergi dan berbagi peran untuk menghadapi MEA 2015. Kita tidak bisa menutup mata atas semua permasalahan dana kelemahan yang kita miliki, tetapi kita juga tidak bisa berpangku tangan karna potensi besar yang kita miliki sabagai syarat untuk menjadikan industri keuangan dan perbankan syariah nasional terdepan dan terbaik, mamapu menjadi tuan rumah dinegerinya sendiri. Hal itu bisa kita raih jika tantangan yang ada bisa menjadi peluang untuk kita realisasikan.
http://www.iaei-pusat.org/article/kiat-bisnis/mewujudkan-kemandirian-ekonomi-umat--1?language=id
Sebagian pihak menkhawatirkan hadirnya kesepakatan MEA 2015 sebagai sebuah ancaman karena pasar potensial domestik akan diambil oleh pesaing dari negara lain. Kekhawatiran ini tentu beralasan mengingat rendahnya kesiapan infrastruktur industri nasional masih sangat lemah, bahkan peringkat daya saing (competitiveness) global Indonesia masih rendah di posisi 38. Sementara itu, Singapura (2), Malaysia (24) Brunei (26) dan Thailand (37) (World Economic Forum 2013). Sedangkan negara Asean lainnya masih di bawah Indonesia.
Bank syariah terbesar di Indonesia saat ini baru mampu membukukan aset sekitar US$5,4 miliar sehingga belum ada yang masuk ke dalam jajaran 25 bank syariah dengan aset terbesar di dunia. Sementara tiga bank syariah Malaysia mampu masuk ke dalam daftar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa skala ekonomi bank syariah Indonesia masih kalah dengan bank syariah Malaysia yang akan menjadi kompetitor utama. Belum tercapainya skala ekonomi tersebut membuat operasional bank syariah di Indonesia kalah efisien, terlebih sebagian besar bank syariah di Indonesia masih dalam tahap ekspansi yang membutuhkan biaya investasi infrastruktur yang cukup signifikan. Ditambah lagi sampai saat ini pemerintah belum memiliki Bank Syariah milik pemerintah (BUMN).
Masih rendahnya peringkat daya saing nasional dan terbatasnya skala ekonomi Bank Syariah tersebut, tentu tidak menghalangi potensi perekonomian nasional yang kita miliki. Diantaranya: (i) jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah; (ii) prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid; (iii) peningkatan sovereign credit rating Indonesia menjadi investment grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah; dan (iv) memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah.
Pengembangan keuangan syariah di Indonesia yang lebih bersifat market driven dan dorongan bottom up dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga lebih bertumpu pada sektor riil juga menjadi keunggulan tersendiri. Berbeda dengan perkembangan keuangan syariah di Iran, Malaysia, dan Arab Saudi, dimana perkembangan keuangan syariahnya lebih bertumpu pada sektor keuangan, bukan sektor riil, dan peranan pemerintah sangat dominan. Selain dalam bentuk dukungan regulasi, penempatan dana pemerintah dan perusahaan milik negara pada lembaga keuangan syariah membuat total asetnya meningkat signifikan, terlebih ketika negara-negara tersebut menikmati windfall profit dari kenaikan harga minyak dan komoditas.
Keunggulan struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia lainnya adalah regulatory regime yang dinilai lebih baik dibanding dengan negara lain. Di Indonesia kewenangan mengeluarkan fatwa keuangan syariah bersifat terpusat oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan institusi yang independen. Sementara di negara lain, fatwa dapat dikeluarkan oleh perorangan ulama sehingga peluang terjadinya perbedaan sangat besar. Di Malaysia, struktur organisasi lembaga fatwa ini berada di bawah Bank Negara Malaysia (BNM), tidak berdiri sendiri secara independen.
Semua stakeholder industri keuangan dan perbankan syariah nasional harus bersama-sama bersinergi dan berbagi peran untuk menghadapi MEA 2015. Kita tidak bisa menutup mata atas semua permasalahan dana kelemahan yang kita miliki, tetapi kita juga tidak bisa berpangku tangan karna potensi besar yang kita miliki sabagai syarat untuk menjadikan industri keuangan dan perbankan syariah nasional terdepan dan terbaik, mamapu menjadi tuan rumah dinegerinya sendiri. Hal itu bisa kita raih jika tantangan yang ada bisa menjadi peluang untuk kita realisasikan.
http://www.iaei-pusat.org/article/kiat-bisnis/mewujudkan-kemandirian-ekonomi-umat--1?language=id
Komentar
Posting Komentar