[Kajian BEM SI] UTANG NEGARA : JANGAN SAMPAI PEMERINTAH “GALI LOBANG TUTUP LOBANG”







Berbicara soal uang memang tidak akan pernah ada habisnya. Apalagi jika dihubungkan dengan banyak hal, salah satu nya yaitu utang-piutang. 

Hm, kalian semua pasti sudah tidak asing lagi jika berbicara soal ‘utang’. Atau bahkan diantara kalian masih ada yang mempunyai utang pada teman sekelas atau satu kosan? Wah, sebaiknya tahan dulu teman-teman. Ingat, ini masih termasuk pertengahan bulan lho. Hihi
Namun kali ini kita tidak akan membahas soal utang-piutang antara mahasiswa, tapi lebih luas lagi. Yaitu, utang negara.


Kita tentu pernah mendengar bahwa Indonesia mempunyai utang ke beberapa negara maju. Utang nya sudah bukan dalam jumlah yang sedikit, namun sudah mencapai triliunan rupiah.
Hm, tentu saja utang ini harus dibayar setiap tahunnya dengan cara dicicil beserta dengan jumlah bunga nya. Jika banyak masyarakat Indonesia yang berpikir bahwa “mengapa Indonesia harus mempunyai utang, padahal negara ini mempunyai sumber daya alam yang melimpah?”


Pendapat itu memang ada benarnya juga. Akan tetapi disatu sisi terdapat manfaat utang luar negeri, suatu negara juga membutuhkan modal untuk membangun negaranya agar lebih maju terutama untuk negara berkembang seperti Indonesia.



Beberapa waktu yang lalu, Kementrian Luar Negeri BEM STIE Ekuitas kembali berdiskusi bersama anggota BEM SI membahas soal utang-piutang ini.

Bagaimana ya hasil diskusi kali ini?



---

UTANG NEGARA : JANGAN SAMPAI PEMERINTAH “GALI LOBANG TUTUP LOBANG”

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko (DJPPR) menyatakan hingga akhir Agustus 2016, total utang pemerintah pusat tercatat Rp 3.438,29 triliun. Angka ini naik Rp 78,47 triliun dibandingkan akhir Juli 2016, yang sebesar Rp 3.359,82 triliun.
Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan DJPPR Kemenkeu Scenaider CH Siahaan mengatakan, kenaikan total utang pada Agustus ini bersumber dari penarikan utang baru sebesar Rp 54,26 triliun.

Sementara penarikan utang periode Januari-Agustus 2016 mencapai sebesar 340,41 triliun. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan penarikan utang periode yang sama pada 2015 mencapai sebesar Rp 262,54 triliun. 

Selain penarikan utang, kenaikan total utang pada Agustus ini karena adanya peningkatan stok utang valas yang dikonversi dalam rupiah akibat pelemahan rupiah sebesar Rp 24,21 triliun. Sebagai informasi, kurs akhir Juli USD/IDR 13.094, JPY/IDR 125,88, dan EURO/IDR 14.512. Kurs akhir Agustus USD/IDR 13.300, JPY/IDR 129,17, EURO/IDR 14.834.
Dari data DJPPR, dalam denominasi dolar AS, total nilai utang pemerintah pusat yang sebesar Rp 3.438,29 triliun di periode Agustus ini membengkak jadi US$ 258,52 miliar dibanding realisasi sebelumnya US$ 256,59 miliar.

Dirinci lebih dalam, utang pemerintah pusat itu berasal dari pinjaman sebesar Rp 754,01 triliun atau US$ 56,69 miliar hingga Agustus 2016 dan penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 2.684,28 triliun atau setara US$ 201,83 miliar.
Pencapaian nilai pinjaman tersebut naik Rp 22,53 triliun dari realisasi bulan ketujuh 2016 yang sebesar Rp 731,48 triliun. Sementara nilai SBN pada periode Agustus ini melonjak Rp 55,94 triliun dari penerbitan SBN hingga Juli lalu sebesar Rp 2.628,34 triliun.

Data DJPPR menyebutkan, pinjaman senilai Rp 754,01 triliun, terdiri dari pinjaman luar negeri Rp 749,33 triliun yang rinciannya adalah pinjaman bilateral sebesar Rp 342,46 triliun, multilateral Rp 358,57 triliun, komersial bank Rp 48,18 triliun dan suppliers Rp 0,12 triliun. Adapun pinjaman dalam negeri sebesar Rp 4,68 triliun.

Utang pemerintah pusat yang bersumber dari penerbitan SBN senilai Rp 2.684,28 triliun, terdiri dari utang dalam denominasi valuta asing Rp 722,10 triliun dan Rp 1.962,18 triliun dari SBN dengan denominasi rupiah.
Nilai utang hingga Agustus yang tercatat Rp 3.438,29 triliun setara dengan rasio 27,7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang mencapai Rp 12.627 triliun. (sumber: liputan6.com di upload 24 September 2016)

Selain itu ULN (Utang Luar Negeri) yang meningkat disebabkan oleh defisit anggaran pemerintah dimana tercatat defist anggaran di APBN 2016 sebesar 2,35% atau Rp. 296,7 triliun. Hal ini terjadi karena dari kegiatan belanja pemerintah pusat yang mencapai Rp. 1.306,7 triliun. 

Pemerintah selama ini meminjam uang bukan untuk investasi melainkan untuk membayar bunga utang sehingga defisit anggaran semakin membesar yang membuat APBN memburuk. Adapun pembayaran bunga utang dalam negeri (91%) sebesar Rp. 174,0 triliun, sedangkan untuk pembayaran bunga utang luar negeri (9%) sebesar Rp. 17,2 triliun.

Indikator lain yang menyebabkan ULN meningkat pada kuartal II 2016, yaitu ULN pemerintah yang meningkat 17,9% lebih besar dibandingkan ULN swasta tercatat minus 3,1%. Peningkatan ULN pemerintah itu sejalan dengan penerbitan euro bond dan samurai bond untuk pembiayaan APBN. Adapun bila dilihat dari jangka waktunya, ULN jangka pendek pun tumbuh melambat pada kuartal II 2016 dibandingkan pada kuartal sebelumnya. Hal ini menunjukkan kondisi ULN yang cenderung sehat. Namun yang perlu diwaspadai adalah DSR (Debt Service Ratio) yang merupakan jumlah pembayaran bunga dan cicilan pokok ULN jangka panjang dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor. Yang lebih obyektif adalah melihat DSR Tier 1 yang mengacu pada penghitungan DSR Bank Dunia. DSR Tier 1 pada kuartal II 2016 meningkat dari 34,08 menjadi 37,28. Peningkatan DSR perlu diwaspadai karena kondisinya memburuk seiring terus menurunnya penerimaan ekspor Indonesia.

Untuk itu yang perlu dilakukan oleh pemerintah terkait ULN yang meningkat pada kuartal II 2016 adalah dengan beberapa kebijakan yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah melunasi ULN pada saat jatuh tempo dan tidak memperpanjangnya. Selain itu, pemerintah juga harus memperketat ULN swasta kecuali yang berorientasi ekspor. Selanjutnya, pembangunan kawasan ekonomi yang berorientasi ekspor serta memperkuat sistem logistik agar ekspor efisien. Secara keseluruhan, meskipun kondisi ULN cukup sehat, namun beberapa hal yang didorong adalah menggenjot penerimaan ekspor. Walapun ke depan penerimaan ekspor Indonesia cenderung semakin berat lantaran China sebagai mitra dagang utama terus mengalami perlambatan aktivitas manufaktur yang berimplikasi pada menurunnya permintaan komoditas ekspor Indonesia.

Oleh sebab itu, pemerintah perlu fokus membenahi dan mencari jalan keluar agar ekspor Indonesia memiliki nilai tambah yang lebih besar. Ini mengingat sebagian besar ekspor Indonesia masih bergantung pada komoditas dasar yang amat terkait dengan kondisi ekonomi global. Jika tidak dibenahi, DSR Tier 1 akan terus meningkat dan pada akhirnya akan memberi sentimen negatif pada nilai tukar dan external balance Indonesia. Jangan sampai istilah “Gali lobang tutup lobang” itu dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

---

Utang memang memiliki dampak buruk maupun dampak baik bagi pembangunan Indonesia. Namun sebagai masyarakat, kita tetap saja mempunyai harapan yang baik untuk kedepannya, semoga Indonesia menjadi negara yang maju dan bebas dari utang negara!


Source by
Deni Catur Gumilar (Menteri Luar Negeri BEM STIE Ekuitas)
Google

KOMINFO 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tipe-Tipe Orang dalam Berorganisasi

Ekuitas Rooms Tour