KUPAS TUNTAS PERMASALAHAN AGRARIA DI INDONESIA





Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup dalam melakukan aktivitas diatas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah, dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah.

Permasalahan tanah dan sengketa lahan sering menjadi ajang konflik di masyarakat, tak terkecuali di masyarakat Jawa Barat. Padahal masalah tanah atau lahan merupakan amanat reformasi di bidang agraria, bahkan didalam konsiderans Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, menegaskan peranan kunci tanah, bahwa bumi, air dan ruang angkasa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Dalam konteks ini, penguasaan dan penghakkan atas tanah terutama tertuju pada perwujudan keadilan dan kemakmuran dalam pembangunan masyarakat.


Menyangkut hal ini, BEM STIE Ekuitas sudah membahas permasalahan mengenai Agraria dalam kajian Pra-FDM yang dilaksanakan pada tanggal 18 Januari 2017 bersama pemateri Aulia Ramadhan dari Komune Rakapare.

Dan ini dia hasilnya..

***


MENGUPAS TUNTAS PERMASALAHAN AGRARIA DI INDONESIA
Oleh :
Kementerian Luar Negeri BEM STIE Ekuitas Bandung

Tanah memiliki peran yang sangat penting artinya dalam kehidupan Bangsa Indonesia ataupun dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang diselenggarakan sebagai upaya berkelanjutan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pada saat manusia mati masih membutuhkan tanah untuk penguburannya sehingga begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa didalam masyarakat, sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara dua pihak atau lebih yang salah satu melakukan perbuatan melawan hukum. Penguasaan yuridis dilandasi hak dengan dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang beraspek perdata maupun publik.

Di Indonesia, khususnya di Jawa Barat sendiri kasus-kasus yang menyangkut sengketa dibidang pertanahan terutama sengketa tanah/lahan bidang pertanian dan perkebunan dapat dikatakan tidak pernah surut, bahkan mempunyai kecenderungan meningkat dalam kompleksitas maupun kuantitas permasalahannya, seiring dengan dinamika ekonomi, sosial dan politik Indonesia, sebut saja sengketa tanah di Kabupaten Karawang dan sengketa tanah di Majalengka dalam pembangunan landasan terbang bertaraf internasional dan masih banyak lagi. Sebagai gambaran dewasa ini di Indonesia, dengan semakin memburuknya situasi ekonomi yang sangat terasa dampaknya. Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka di dalam UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 disebutkan : “Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kelahiran Hukum Agraria di Indonesia sendiri di tandai dengan Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria pada tanggal 24 September 1948, sekaligus sebagai wujud reformasi bangsa indonesia terkait dengan pengaturan hak-hak atas tanah, yang dulunya bersifat pluralistik dan sangat menguntungkan bangsa kolonial.selain itu munculnya Undang Undang Pokok Agraria ini juga merupakan wujud kemenangan bangsa Indonesia khususnya petani, Untuk menciptakan hukum agraria nasional guna menjamin kepastian hukum bidang pertahanan, maka dilakukanlah unifikasi hukum pertahanan dengan membentuk UU no. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau yang lebih dikenal dengan UUPA pada tanggal 24 September 1960.

Hasil diskusi di kampus STIE Ekuitas pada tanggal 18 Januari 2017, mengungkap ada beberapa penyebab terjadinya konflik agraria di Indonesia, yakni 

1) Sistem administrasi pertanahan, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak beres. Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan mungkin pula karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum yang lemah. 

2) Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani atau penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. 

3) Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani atau pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja.Ironisnya ketika masyarakt miskin mencoba memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan menggarapnya, bahkan ada yang sampai puluhan tahun, dengan gampanya mereka dikalahkan haknya di pengadilan tatkala muncul sengketa. 

Banyaknya permasalahan pertanahan yang melibatkan masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan perusahaan maupun masyarakat dengan pemerintah yang kerap berujung pada dirugikannya salah satu pihak dirasakan perlu dilakukan penyelesaian sengketa alternatif. Saat ini di Indonesia belum ada langkah PSA, selama ini permasalahan sengketa pertanahan selalu di selesaikan di pengadilan di mana biasanya dalam proses pengadilan tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya cukup mahal dan tidak bisa langsung di eksekusi. Sehingga sebelum berkas perkara masuk ke pengadilan perlu dibuat mekanisme penyelesaian sengketa alternatif. Diantaranya membuat lembaga mediasi dan membuat arbitrase pertanahan, di mana lembaga mediasi bertugas mempertemukan pihak-pihak bersengketa, sedangkan arbitrase mempunyai tugas untuk melakukan penyelesaian di luar pengadilan tetapi berkas berada di pengadilan serta kepada warganegara dalam menempati atau membeli tanah harus ada sertifikat yang jelas kepemilikannya sehingga jika terjadi sengketa tidak perlu khawatir atas hak milik tanah karena setifikat itu sangat penting dalam kasus seperti ini.




***

Source by
Google
Kementrian Luar Negeri BEM STIE Ekuitas


KOMINFO 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tipe-Tipe Orang dalam Berorganisasi

Ekuitas Rooms Tour